Ketidakpastian global kembali membayangi pelaku industri perkayuan nasional. Pemerintah Amerika Serikat di bawah Presiden Donald Trump pada awal April 2025 resmi menetapkan tarif resiprokal terhadap sejumlah negara mitra dagang. Indonesia masuk dalam daftar, dengan tarif tambahan sebesar 32 persen untuk berbagai produk, termasuk kayu olahan dan furnitur.
Langkah sepihak ini memicu kekhawatiran atas keberlangsungan ekspor perkayuan Indonesia ke Negeri Paman Sam yang selama ini menjadi pasar penting. Namun, data kuartal pertama 2025 menunjukkan bahwa dampak kebijakan tersebut belum sepenuhnya terefleksi dalam performa ekspor.
Ekspor Masih Tumbuh, Ancaman Mengintai Semester Kedua
Tahun | Volume Ekspor (Ton) | Nilai FOB (USD) |
2024 | 1.012.374 | 1,899.783.170 |
2025 Q1 | 307.435 | 535.045.500 |
Perbandingan Ekspor Perkayuan ke AS (2024 vs Estimasi 2025). Sumber SILK Kemenhut

Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), ekspor produk perkayuan Indonesia ke Amerika Serikat pada triwulan I 2025 mencapai 535,04 juta dolar AS dengan volume sebesar 307.435 ton. Bila tren ini berlanjut, nilai ekspor tahunan ke AS dapat menembus 2,14 miliar dolar AS, naik sekitar 12,6 persen dibandingkan tahun 2024 yang mencapai 1,89 miliar dolar AS.
Kendati demikian, pengenaan tarif tambahan yang mulai berlaku April 2025 diperkirakan akan berdampak signifikan pada semester kedua. Sejumlah pelaku industri telah melaporkan pembatalan kontrak dan penundaan pengapalan.
Ketimpangan Tarif dan Persaingan Regional
Pada 2 April 2025, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengumumkan penerapan tarif “resiprokal” terhadap berbagai negara, termasuk Indonesia. Tarif tambahan sebesar 32% dikenakan pada produk impor dari Indonesia ke AS. Penetapan tarif ini didasarkan pada perhitungan yang mengaitkan defisit perdagangan barang AS dengan suatu negara terhadap total impor AS dari negara tersebut.
Secara spesifik, tarif dihitung dengan membagi defisit perdagangan barang AS dengan suatu negara dengan total impor AS dari negara tersebut, kemudian hasilnya dibagi dua. Dalam kasus Indonesia, defisit perdagangan barang AS mencapai $16,8 miliar pada 2024, sementara total impor AS dari Indonesia adalah $26,3 miliar.
Walaupun metode perhitungan ini telah mendapat kritik dari berbagai ekonom karena dianggap terlalu sederhana dan tidak mempertimbangkan kompleksitas hubungan perdagangan internasional, namun AS tetap menerapkan kebijakan ini.
Respon Pemerintah: Diplomasi Ekonomi Lebih Diutamakan
Pemerintah Indonesia menegaskan tidak akan menempuh langkah retaliasi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, dalam berbagai pemberitaan menyatakan bahwa pendekatan Indonesia tetap moderat, fokus pada dialog diplomatik, dan pelibatan aktif dalam forum multilateral seperti WTO.
“Kita ingin menjaga stabilitas hubungan dagang jangka panjang. Langkah balasan justru bisa merugikan posisi kita,” ujarnya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (3/4/2025).
Strategi Eksportir: Adaptasi dan Diversifikasi Pasar
Direktut PT Trifos Internasional Sertifikasi (TRIC), Rendy Agung Firmansyah, menegaskan bahwa eksportir perlu mencari pasar alternatif pasar di Timur Tengah, Asia Selatan, dan Eropa Timur. Selain itu, pelaku usaha juga mulai menyesuaikan desain dan bahan baku produk agar memenuhi permintaan spesifik dari pasar non-AS.
“Amerika memang besar, tapi kita tidak bisa tergantung sepenuhnya. Tarif ini harus jadi pelajaran penting untuk menata ulang strategi ekspor jangka panjang,” ujar Rendy.
Darusman, selaku Direktur Wangoon Reseach and Consulting, menyatakan bahwa peluang tetap terbuka jika eksportir mampu menawarkan nilai tambah berbasis keberlanjutan. “Indonesia punya kekuatan dari aspek legalitas kayu (V-legal), sertifikasi keberlanjutan, dan narasi ramah lingkungan. Ini harus dimanfaatkan untuk masuk ke pasar-pasar yang lebih sensitif terhadap isu ESG,” katanya.
Langkah Korektif yang Mendesak
Sejumlah kalangan menilai bahwa krisis ini juga menjadi peluang bagi pemerintah untuk melakukan reformasi mendalam terhadap sistem ekspor produk perkayuan nasional, termasuk:
- Menata ulang insentif ekspor berbasis nilai tambah
- Mengurangi ketergantungan pada pasar utama
- Mendorong digitalisasi dan transparansi rantai pasok
- Memperkuat sistem pencatatan legalitas dan pelacakan kayu untuk meningkatkan kepercayaan global
Tarif baru dari Amerika Serikat terhadap produk perkayuan Indonesia belum sepenuhnya terasa dalam data saat ini. Namun, gelombang dampak diperkirakan akan menghantam industri nasional dalam beberapa bulan ke depan. Tanpa strategi mitigasi yang cepat dan terukur, pencapaian ekspor yang selama ini dibangun secara konsisten bisa mengalami kemunduran serius.
Tarif hanyalah permukaan dari dinamika geopolitik dan perdagangan global yang terus berubah. Ketahanan industri akan sangat ditentukan oleh kemampuan beradaptasi, inovasi, dan penguatan kelembagaan dalam negeri. (Adm)