Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto melakukan komunikasi langsung dengan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump pada Selasa, 15 Juli 2025, melalui sambungan telepon. Foto: BPMI Setpres/Istimewa. Sumber; https://www.presidenri.go.id/foto/seskab-teddy-ungkap-diplomasi-telepon-presiden-prabowo-trump-turunkan-tarif-produk-ri/
Ketika perang tarif mengguncang Asia Tenggara, Indonesia justru melangkah ke panggung global dengan kepala tegak. Amerika Serikat resmi memberlakukan tarif resiprokal 19% atas ekspor Indonesia mulai Juli 2025, sebuah kebijakan yang sempat dikhawatirkan akan menekan daya saing nasional. Tarif ini menyasar hampir semua produk utama Indonesia, mulai furnitur, tekstil, elektronik, hingga minyak kelapa sawit yang pada 2024 menyumbang ekspor senilai US$28,1 miliar ke pasar Amerika.
Sebagai bagian dari kesepakatan, Indonesia tidak hanya menerima tarif baru itu, tetapi juga membuka pasar domestiknya dengan menghapus lebih dari 99% hambatan tarif bagi produk AS. Komitmen pembelian pun ditegaskan: energi senilai US$15 miliar, produk pertanian US$4,5 miliar, dan 50 pesawat Boeing senilai sekitar US$3-4 miliar. Di tengah tekanan ini, pemerintah menyebut langkah tersebut sebagai kesepakatan bersejarah yang justru membuka peluang baru bagi ekonomi nasional.
Keberhasilan Atau Kemunduran?
Di satu sisi, tarif 19% dianggap sebagai bentuk proteksi AS yang bisa menaikkan harga barang Indonesia di pasar Amerika. Namun, tarif ini tetap lebih rendah dibanding ancaman 32% sebelumnya, sehingga Indonesia masih memiliki daya saing. Pemerintah menyebut kesepakatan ini sebagai kemenangan diplomasi perdagangan, karena berhasil menekan tarif dan membuka akses pasar AS untuk produk Indonesia.
Meski demikian, tidak semua pihak sependapat. Sejumlah pengamat menilai kesepakatan ini juga memiliki sisi kekalahan, karena Indonesia harus menghapus hampir seluruh tarif impor bagi produk AS dan memberikan komitmen pembelian besar, mulai dari energi hingga pesawat Boeing yang bisa menekan industri lokal. Menurut analis perdagangan dari Asia Trade Policy Forum, kebijakan ini “terlihat seperti kemenangan jangka pendek, tetapi dalam jangka panjang bisa memperlebar ketergantungan Indonesia pada pasokan AS.” Dengan kata lain, kesepakatan ini adalah pertaruhan diplomasi yang akan teruji dalam implementasinya.
Membandingkan dengan Vietnam dan Malaysia: Mari Kita Analisis Bersama Secara Cermat
Kondisi Indonesia semakin menonjol jika dilihat dari lanskap tarif di kawasan ASEAN. Vietnam memang memiliki hubungan dagang kuat dengan AS, tetapi kesepakatan terbaru justru menempatkannya dalam posisi sulit. Produk Vietnam dikenai tarif dasar 20%, lebih tinggi dari Indonesia. Ancaman yang lebih serius datang dari klausul transshipment: jika produk Vietnam terbukti hanya merakit komponen asal China tanpa transformasi signifikan, AS dapat mengenakan tarif penalti hingga 40%. Klausul ini menciptakan ketidakpastian besar bagi investor yang memanfaatkan Vietnam sebagai basis produksi murah berbasis input China.
Malaysia pun tidak berada di posisi aman. Negara ini menghadapi tarif 25% untuk ekspor ke AS, tanpa adanya kesepakatan khusus atau perlindungan dalam bentuk pengurangan tarif. Hal ini memukul daya saing Malaysia, terutama di sektor furnitur, elektronik, dan sarung tangan karet, yang selama ini menjadi andalan ekspor ke pasar Amerika.
Dengan struktur tarif yang baru ini, Indonesia justru mendapatkan keunggulan strategis. Tidak ada klausul penalti transshipment yang eksplisit seperti di Vietnam, dan tarif 19% lebih rendah dari dua pesaing utamanya. Kondisi ini memberi Indonesia dua keuntungan sekaligus:
- Stabilitas kebijakan yang disukai investor, karena risiko kenaikan tarif tambahan minim.
- Pangsa pasar ekspor yang berpotensi tumbuh, karena importir AS lebih memilih produk Indonesia ketimbang Vietnam atau Malaysia yang lebih mahal atau berisiko.
Para pengamat menilai, situasi ini menempatkan Indonesia di posisi emas untuk menarik investasi baru. Perusahaan multinasional yang sebelumnya memilih Vietnam karena akses ke China kini mulai melirik Indonesia, karena selain tarif lebih rendah, rantai pasok di Indonesia juga terhindar dari tuduhan manipulasi asal barang. Dengan kata lain, dalam perang tarif yang sedang berlangsung, Indonesia berhasil bermain di jalur tengah: tidak sepenuhnya bebas risiko, tetapi cukup aman untuk menjadi pilihan utama.
Transshipment: Ancaman untuk Vietnam, Peluang untuk Indonesia
Klausul transshipment yang diterapkan Amerika Serikat kini menjadi bayang-bayang kelam bagi Vietnam. Sebagian besar industri ekspor Vietnam, terutama elektronik, garmen, dan alas kaki, masih mengandalkan komponen impor dari China. Dalam perjanjian tarif terbaru, AS memperketat definisi rules of origin yitu jika barang Vietnam hanya melakukan perakitan ringan tanpa nilai tambah signifikan, maka produk tersebut dianggap berasal dari China. Konsekuensinya, AS dapat mengenakan tarif penalti hingga 40%, dua kali lipat dari tarif dasar. Ketidakpastian ini membuat importir AS ragu memperluas kontrak dengan pemasok Vietnam, apalagi risiko audit bea cukai dan sanksi retrospektif kini semakin tinggi.
Sebaliknya, situasi ini menjadi peluang strategis bagi Indonesia. Berbeda dengan Vietnam, sebagian besar ekspor Indonesia ke AS seperti furnitur, karet, dan minyak kelapa sawit, menggunakan bahan baku lokal yang mudah dilacak asal-usulnya. Risiko terkena tuduhan transshipment hampir tidak ada. Hal ini memberi Indonesia nilai jual tambahan di mata importir AS yang mencari rantai pasok lebih aman dan stabil. Dengan minimnya hambatan ini, Indonesia tidak hanya memperkuat posisinya di pasar AS, tetapi juga meningkatkan daya tarik bagi investor yang ingin menghindari jebakan tarif tinggi akibat ketergantungan pada input China.
Malaysia Tertinggal dalam Persaingan
Malaysia kini menghadapi tarif 25% untuk ekspor ke Amerika Serikat, tanpa adanya skema pengurangan tarif atau perjanjian khusus yang melindungi pelaku industrinya. Kondisi ini memukul keras sektor andalan ekspor negeri jiran, seperti furnitur, elektronik, dan sarung tangan karet, yang selama ini menjadi tulang punggung perdagangan Malaysia dengan pasar Amerika. Importir AS mulai mengalihkan kontrak ke negara lain yang lebih kompetitif, sementara produsen Malaysia terjepit oleh biaya produksi yang tinggi dan margin yang makin tipis.
Tanpa adanya terobosan diplomasi, Malaysia tampak semakin kehilangan daya tarik dalam persaingan global. Situasi ini membuka celah besar bagi Indonesia untuk mengambil alih sebagian pangsa pasar, khususnya di sektor furnitur dan produk berbasis karet yang memiliki keunggulan bahan baku lokal.
Ketidakpastian di sektor perdagangan diperburuk oleh gejolak ekonomi dalam negeri. Lonjakan biaya hidup, inflasi yang sulit dikendalikan, dan harga kebutuhan pokok yang merangkak naik memicu gelombang ketidakpuasan publik.
Ribuan warga Malaysia turun ke jalan di Kuala Lumpur pada akhir Juli 2025, menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Anwar Ibrahim. Demonstrasi yang membentang dari pusat kota hingga depan gedung parlemen ini menjadi simbol kegelisahan rakyat terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap gagal mengatasi krisis ekonomi. Menanggapi tekanan tersebut, pemerintah mengumumkan berbagai langkah populis, mulai dari bantuan tunai RM100 (sekitar US$23), pemangkasan harga bahan bakar, hingga peningkatan subsidi sosial. Namun, langkah-langkah itu dinilai hanya tambal sulam dan tidak menyentuh akar masalah struktural ekonomi. Di tengah ketidakstabilan ini, investor asing semakin berhati-hati menempatkan modalnya di Malaysia, membuat posisi Indonesia sebagai alternatif investasi menjadi semakin menguat.
Keunggulan Indonesia dan Keberhasilan Pemerintah Prabowo
Dengan struktur tarif yang lebih rendah dibanding Vietnam (20%) dan Malaysia (25%), serta bebas dari klausul penalti transshipment yang menghantui Vietnam, Indonesia kini berada pada posisi strategis di ASEAN. Kesepakatan dagang dengan AS tidak hanya menjaga akses ekspor Indonesia, tetapi juga memberi keunggulan kompetitif di mata pelaku industri internasional. Bagi banyak investor, tarif 19% dianggap cukup bersahabat, apalagi ketika disandingkan dengan kestabilan politik dalam negeri yang menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan investasi.
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dinilai berhasil memanfaatkan momen ini sebagai terobosan diplomasi ekonomi. Dalam negosiasi yang alot, Indonesia tidak hanya menghindari tarif 32% yang sempat mengancam, tetapi juga mendapatkan jaminan akses pasar AS bagi produk berbasis bahan baku lokal. Kesepakatan ini sekaligus menjadi sinyal kuat bahwa Indonesia mampu menavigasi geopolitik perdagangan global dengan cerdas. Di mata investor, keberhasilan ini memperkuat citra Indonesia sebagai destinasi investasi yang aman dan menjanjikan di tengah ketidakpastian kawasan. Keberhasilan diplomasi ini bahkan disebut beberapa pengamat sebagai “momen kebangkitan Indonesia” dalam arena perdagangan internasional, yang jika dikelola dengan baik dapat mempercepat transformasi ekonomi nasional.
Tarif Impor 0%: Untung atau Rugi untuk Indonesia?
Sebagai bagian dari kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat, Indonesia sepakat menghapus hampir seluruh tarif impor untuk produk AS. Langkah ini menimbulkan perdebatan di dalam negeri. Di satu sisi, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan petani dan produsen lokal, terutama sektor pertanian, karena produk pertanian AS seperti kedelai, gandum, dan jagung dapat masuk dengan harga yang jauh lebih murah. Tanpa proteksi tarif, petani lokal berpotensi kehilangan daya saing jika tidak didukung kebijakan penguatan produksi domestik. Kritik ini muncul dari berbagai organisasi tani yang mengingatkan pemerintah agar tidak hanya fokus pada kepentingan diplomasi, tetapi juga memperkuat perlindungan bagi sektor strategis di dalam negeri.
Namun, dari sudut pandang industri dan konsumen, tarif 0% justru menghadirkan keuntungan nyata. Industri pengolahan makanan, pakan ternak, hingga manufaktur dapat memperoleh bahan baku dengan harga lebih rendah, sehingga biaya produksi menurun. Bagi konsumen, turunnya harga bahan baku bisa membantu menekan inflasi dan menjaga daya beli masyarakat di tengah ketidakpastian ekonomi global. Lagi pula, Indonesia memang sudah mengimpor energi, produk pertanian, dan bahan pangan dari AS sebelum kebijakan ini diterapkan. Dengan kata lain, dampak dari penghapusan tarif lebih bersifat penyesuaian administratif ketimbang ancaman baru. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini bisa menjadi katalis bagi efisiensi industri dan memperkuat posisi Indonesia dalam rantai pasok global, sembari tetap menjaga keseimbangan dengan kebijakan perlindungan bagi petani lokal.
Memanfaatkan Momentum

Indonesia kini memiliki jendela peluang emas untuk menarik investasi asing, terutama dari perusahaan multinasional yang ingin menghindari tarif tinggi di Vietnam atau Malaysia. Keunggulan posisi tarif 19% dan minimnya risiko penalti transshipment menjadikan Indonesia kandidat ideal sebagai basis produksi di Asia Tenggara. Namun, agar momentum ini tidak terbuang percuma, pemerintah harus mengambil langkah lebih luas dari sekadar diplomasi dagang.
Reformasi investasi tidak hanya menyangkut penyederhanaan perizinan dan pemberian insentif pajak. Lebih dari itu, pemerintah perlu melakukan penanggulangan terhadap praktik rente ekonomi, termasuk peran ormas atau kelompok-kelompok tertentu yang kerap menjadi penghambat investasi di daerah. Penegakan hukum yang konsisten terhadap pungutan liar, perizinan ilegal, serta kepastian tata ruang menjadi faktor penentu bagi investor. Di sisi lain, pengembangan industri berbasis lokal harus diperkuat untuk meminimalkan ketergantungan pada bahan baku impor, sekaligus menghindari tuduhan transshipment.
Selain itu, sistem traceability dan sertifikasi asal produk perlu ditingkatkan agar kepatuhan terhadap aturan perdagangan AS bisa terjamin. Pemerintah juga harus lebih agresif dalam promosi investasi ke pasar global, menawarkan Indonesia sebagai destinasi yang tidak hanya murah secara biaya, tetapi juga aman secara regulasi. Jika reformasi ini dijalankan secara serius, Indonesia bukan hanya sekadar memanfaatkan momentum, tetapi mampu mengubah lanskap investasi ASEAN dengan menjelma menjadi pusat produksi yang berdaya saing tinggi.
Dari Diplomasi ke Transformasi Ekonomi
Di tengah ketidakpastian perang tarif yang mengguncang Asia Tenggara, Indonesia justru mampu memanfaatkan situasi menjadi keuntungan strategis. Dengan tarif 19% yang relatif rendah, bebas dari risiko penalti transshipment, serta akses pasar AS yang semakin terbuka, Indonesia kini memiliki posisi tawar yang jarang dimiliki negara lain di kawasan. Kondisi ini menjadikan Indonesia kandidat kuat sebagai pusat manufaktur baru di Asia Tenggara, sekaligus mitra dagang yang diperhitungkan di mata global.
Bagi pemerintahan Prabowo, kesepakatan ini bukan sekadar kemenangan diplomasi dagang, melainkan langkah awal untuk transformasi ekonomi nasional. Tantangannya kini terletak pada implementasi: memperkuat industri berbasis lokal, menjaga kepastian hukum, serta menata iklim investasi yang sehat tanpa hambatan rente. Jika momentum ini dikelola dengan strategi yang tepat, Indonesia bukan hanya akan memperbesar pangsa ekspornya ke AS, tetapi juga menarik gelombang investasi asing yang dapat menggerakkan ekonomi dari hulu ke hilir.
Ke depan, dunia akan melihat apakah Indonesia mampu menjadikan kesepakatan ini sebagai titik balik menuju era baru industrialisasi dan kemandirian ekonomi. Jika berhasil, bukan tidak mungkin Indonesia akan tampil sebagai kekuatan ekonomi regional yang mampu menyaingi Vietnam dan Malaysia, sekaligus memperkuat posisinya dalam rantai pasok global. Dalam konteks inilah, langkah diplomasi perdagangan di era Prabowo bisa dikenang sebagai momen kebangkitan Indonesia di tengah badai tarif dunia. (Adm)








