Di jagat pewayangan Jawa, nama Palguno dan Palgunadi sering tenggelam di balik kegemilangan Arjuna. Padahal, kisahnya menyimpan pelajaran berharga yang relevan hingga kini, terutama tentang arti kompetensi dan pengakuan.
Palgunadi atau dikenal juga dengan Ekalaya adalah raja Paranggelung, seorang pemanah ulung yang tak kalah hebat dari Arjuna. Dengan ketekunan yang tinggi, ia berlatih memanah di depan patung gurunya, Resi Drona, yang ia buat sendiri karena ditolak menjadi murid resmi. Latihan itu membuahkan hasil luar biasa; kemahirannya melampaui para Pandawa. Namun Drona, terikat janji menjaga Arjuna sebagai murid kesayangan, merasa terusik. Sang guru meminta Palgunadi memotong ibu jarinya sebagai tanda bakti. Tanpa ragu, Palgunadi menuruti permintaan itu, meski berarti kehilangan sebagian kekuatannya. Sejak saat itu, keahliannya memudar.

Kisah berlanjut dengan intrik fitnah, cinta, dan pertempuran yang tak terhindarkan. Palgunadi akhirnya tewas di tangan Arjuna, sementara istrinya, Dewi Anggraini, memilih bunuh diri di dekat jasad sang suami. Arjuna diliputi penyesalan, sedangkan Drona menerima kutukan bahwa kelak ia akan mati di tangan muridnya sendiri. Kisah tragis ini bukan sekadar drama, tetapi cermin tentang keahlian, pengakuan, dan harga diri.
Palgunadi di Era Modern
Jika kita tarik benang merahnya, cerita Palgunadi relevan dengan konteks kompetensi di dunia modern. Palgunadi memiliki keterampilan yang luar biasa, tetapi tidak diakui oleh sistem karena tidak berstatus murid resmi Drona. Begitu pula dalam dunia kerja sekarang, keahlian teknis yang mumpuni sering kali tidak cukup tanpa pengakuan formal. Inilah mengapa sertifikat kompetensi menjadi penting, karena menjadi bukti yang diakui bahwa seseorang memang memiliki kemampuan sesuai standar industri.
Pendidikan formal dan nonformal memainkan peran besar dalam hal ini. Pendidikan formal memberikan dasar teoritis dan legitimasi dari negara, sementara pendidikan nonformal melalui kursus, pelatihan bahkan belajar dari internet memperkuat keahlian praktis. Sertifikat kompetensi kemudian menjadi jembatan yang menghubungkan keahlian tersebut dengan pengakuan resmi. Tanpa sertifikat, banyak tenaga ahli seperti Palgunadi hanya diakui di lingkarannya sendiri, namun luput dari pengakuan yang lebih luas.
Meski demikian, sertifikasi bukan sekadar soal legalitas. Ada nilai lain yang tak kalah penting: etika dan integritas. Palgunadi menunjukkan pengabdian luar biasa dengan memotong ibu jarinya demi menghormati gurunya. Dari sini kita belajar bahwa kompetensi sejati tidak hanya diukur dari kemampuan teknis atau selembar kertas, tetapi juga dari karakter dan nilai moral yang menyertainya. Dalam dunia profesional, integritas adalah bagian yang tak bisa dilepaskan dari kompetensi.
Pelajaran dari kisah ini sederhana tetapi mendalam. Keahlian saja tidak cukup jika tidak diakui oleh sistem, dan sertifikat kompetensi hadir untuk menjawab tantangan itu. Namun, pengakuan formal juga harus diimbangi dengan kemampuan nyata dan etika profesional yang kuat. Dalam era yang menuntut kualitas sekaligus kredibilitas, kita ditantang untuk tidak hanya hebat di balik layar, tetapi juga mampu membuktikan diri di panggung yang diakui dunia.
Kisah Palguno – Palgunadi mengingatkan kita bahwa kompetensi adalah perpaduan antara keterampilan, pengakuan, dan nilai. Tanpa ketiganya, sehebat apa pun seseorang, ia bisa terpinggirkan. Sebaliknya, dengan keseimbangan itu, seseorang tidak hanya diingat sebagai bayangan, tetapi mampu bersinar terang di setiap kesempatan. (Adm)








