Uni Eropa Semakin Dekat Menunda Implementasi EUDR, Negara Mitra Diminta Bersiap dengan Skenario Baru

Arah kebijakan Uni Eropa terkait Regulasi Anti-Deforestasi (EU Deforestation Regulation/EUDR) kembali bergeser setelah Dewan Uni Eropa (Council of the EU) pada November 2025 menyetujui mandat negosiasi baru untuk menunda dan menyederhanakan pelaksanaan regulasi tersebut. Sikap ini menegaskan meningkatnya kekhawatiran negara anggota terhadap kesiapan teknis dan beban kepatuhan yang dinilai belum seimbang, baik bagi pelaku industri di Eropa maupun negara mitra seperti Indonesia.

Dalam siaran pers tanggal 19 November 2025, Council menyatakan siap memasuki pembahasan formal dengan Parlemen Eropa dan Komisi Eropa mengenai revisi terarah EUDR. Beberapa hari kemudian, Parlemen Eropa pada 26 November 2025 memberikan persetujuan resmi terhadap usulan penundaan tersebut. Media internasional seperti Reuters dan ESG Today mencatat bahwa mayoritas legislator mendukung penjadwalan ulang karena sistem teknologi pendukung due diligence belum dapat dioperasikan secara penuh.

Usulan penundaan itu menggeser tenggat implementasi menjadi 30 Desember 2026 bagi operator menengah dan besar serta 30 Juni 2027 bagi usaha mikro dan kecil. Jadwal baru ini memberi ruang tambahan bagi negara mitra untuk memperkuat pemetaan geolokasi dan memastikan data rantai pasok lebih konsisten. Komisioner Lingkungan Uni Eropa dalam laporan Reuters 23 September 2025 juga telah mengindikasikan bahwa kesiapan sistem TI EUDR belum mampu menangani volume data global sehingga penundaan dinilai tak terhindarkan.

Selain penjadwalan ulang, Dewan dan Parlemen Eropa sepakat menyederhanakan kewajiban pelaporan. Dalam rancangan revisi, hanya operator pertama yang menempatkan produk di pasar Uni Eropa atau first placer yang diwajibkan menyampaikan Due Diligence Statement (DDS). Pelaku usaha di rantai distribusi berikutnya cukup menyimpan dan meneruskan nomor referensi DDS tanpa membuat laporan baru. Model ini dianggap lebih realistis dan sejalan dengan kritik industri yang menilai beban administrasi sebelumnya terlalu besar.

Bagi pelaku usaha mikro dan kecil, Uni Eropa mengusulkan penggunaan deklarasi sederhana satu kali. Menurut laporan Euractiv (2025), kebijakan ini dirancang untuk menurunkan biaya kepatuhan yang dinilai tidak proporsional bagi UKM, terutama pemasok kecil dari negara berkembang.

Meski demikian, terdapat satu ketentuan yang menambah ketidakpastian bagi eksportir dan negara mitra. Dalam mandat negosiasinya, Dewan Uni Eropa menugaskan Komisi untuk melakukan tinjauan penyederhanaan paling lambat 30 April 2026. Hasil tinjauan itu dapat disertai usulan legislasi baru jika ditemukan bahwa beban kepatuhan masih terlalu tinggi. Sejumlah analis yang dikutip Politico memperingatkan bahwa perubahan ini dapat membuka kembali seluruh proses legislasi sebelum implementasi penuh dimulai.

Implikasi bagi Indonesia

Bagi Indonesia, dinamika ini membawa dua sisi. Di satu sisi, penundaan memberi waktu lebih panjang untuk memperkuat integrasi SVLK (untuk produk kayu) dan ISPO (untuk produk sawit), sertifikasi berkelanjutan sukarela lainnya, dan sistem ketertelusuran berbasis geolokasi. Industri produk perkayuan seperti furnitur yang banyak bergantung pada pasar Eropa juga memperoleh ruang untuk menyesuaikan dokumentasi pemasok, termasuk petani dan kelompok tani hutan. Namun, di sisi lain, tinjauan ulang pada 2026 dapat membuat arah kebijakan kembali berubah sehingga strategi kepatuhan harus bersifat adaptif.

Dengan posisi Dewan dan Parlemen yang kini relatif selaras, proses trilogue akan menentukan bentuk akhir revisi EUDR. Dunia usaha Indonesia perlu menyiapkan dua skenario sekaligus: kepatuhan terhadap ketentuan EUDR saat ini dan penyesuaian lebih lanjut bila penyederhanaan akhirnya disahkan. (Admin)

Tag Berita

Share berita ini di kanal anda melalui:

WhatsApp
Email
Facebook
X

Artikel terkait

Penelitian, Survei, Kajian, pendampingan sertifikasi (SVLK, FSC, PEFC, ISPO, ISO), Komunikasi Multimedia, Teknologi Informasi dan Penyelenggara Acara