Indonesia tengah berada di persimpangan krusial pembangunan. Perlambatan ekonomi masih terasa meski pertumbuhan sempat mencapai 5,12 % di kuartal II 2025, namun pertumbuhan pada kisaran 4,8 % hingga 4,9 % menjadi sinyal optimisme yang rapuh, terutama saat konsumsi domestik dan investasi melemah.
Di saat bersamaan, pemerintah berada di bawah tekanan anggaran besar, dengan instruksi efisiensi drastis mencapai Rp306,7 triliun, mengakibatkan pemangkasan tajam anggaran pembangunan, pendidikan, dan infrastruktur. Tekanan fiskal ini semakin berat ketika penerimaan negara tak sebanding dengan kebutuhan, sementara praktik tambang dan perkebunan ilegal di berbagai daerah justru merugikan negara hingga miliaran dolar serta merusak ekosistem penting seperti mangrove, hutan lindung, dan lahan gambut.
Krisis ini memperlihatkan dilema klasik, bagaimana mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa mengorbankan lingkungan yang menjadi tumpuan hidup jutaan orang. Banjir besar di kota-kota, kebakaran hutan di musim kemarau, hingga polusi udara yang kerap melebihi ambang aman hanyalah sebagian potret nyata dari rapuhnya keseimbangan pembangunan kita.
Dalam konteks inilah, Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) menemukan relevansinya. Ia bukan sekadar laporan teknis, melainkan instrumen penting untuk memotret sejauh mana aktivitas pembangunan berkontribusi terhadap krisis iklim, sekaligus mengukur serapan karbon yang masih dimiliki negeri ini. Tanpa inventarisasi yang kredibel, janji Indonesia menurunkan emisi sebesar 31,9 persen secara mandiri atau 43,2 persen dengan bantuan internasional pada 2030 hanya akan menjadi retorika di atas kertas.

Apa Itu Inventarisasi Gas Rumah Kaca?
Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) pada dasarnya adalah proses menghitung dan melaporkan berapa banyak gas yang memicu pemanasan global dilepaskan ke atmosfer, serta berapa banyak yang berhasil diserap kembali oleh hutan, lahan, dan ekosistem lainnya. Gas-gas ini, yang kita kenal sebagai gas rumah kaca (GRK), antara lain karbon dioksida (CO₂) dari pembakaran bahan bakar fosil, metana (CH₄) dari lahan basah, sawah, hingga peternakan, serta di-nitrogen oksida (N₂O) dari penggunaan pupuk dan limbah. Di tingkat industri, ada pula gas ber-fluor (HFC, PFC, SF₆) yang meski jumlahnya kecil, dampaknya bisa ribuan kali lebih kuat dibandingkan CO₂.
Setiap sektor di Indonesia punya sumbangan yang khas. Energi menjadi penyumbang terbesar, terutama dari pembangkit listrik berbasis batu bara, transportasi darat, dan industri manufaktur. Pertanian menyumbang emisi dari sawah yang menghasilkan metana dan kotoran ternak. Limbah rumah tangga maupun industri menghasilkan emisi saat sampah menumpuk di TPA atau saat limbah cair tidak terkelola. Sementara itu, kehutanan dan lahan menjadi sektor yang paling kompleks: ia bisa menjadi sumber emisi melalui deforestasi dan kebakaran hutan, tetapi juga berperan sebagai “paru-paru” yang menyerap karbon ketika hutan dan mangrove tetap terjaga.
Bagi Indonesia, inventarisasi ini lebih dari sekadar tumpukan angka di tabel laporan. Ia adalah rapor bangsa yang menunjukkan seberapa konsisten kita dalam memenuhi komitmen global penurunan emisi. Data dari IGRK juga menjadi fondasi bagi perumusan kebijakan pembangunan rendah karbon, menentukan sektor prioritas mitigasi, hingga membuka peluang ekonomi baru melalui perdagangan karbon. Dengan kata lain, inventarisasi gas rumah kaca adalah cermin bagaimana pembangunan kita hari ini akan memengaruhi kualitas hidup generasi mendatang.
Mengapa IGRK Penting
Bagi Indonesia, inventarisasi gas rumah kaca bukan sekadar memenuhi kewajiban di meja perundingan internasional. Ia adalah fondasi untuk memastikan arah pembangunan tetap seimbang antara pertumbuhan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan.
Pertama, IGRK adalah kunci diplomasi iklim Indonesia. Di hadapan dunia, Indonesia telah berjanji menurunkan emisi sebesar 31,9 persen secara mandiri atau 43,2 persen dengan bantuan internasional pada 2030. Tanpa data inventarisasi yang akurat, janji itu hanya menjadi retorika. Laporan yang kredibel memastikan bahwa setiap langkah dari penghentian deforestasi hingga pemanfaatan energi terbarukan diakui sebagai kontribusi nyata dalam menahan laju pemanasan global.
Kedua, IGRK menjadi alat navigasi pembangunan nasional. Data emisi membantu pemerintah menetapkan sektor mana yang paling mendesak untuk ditangani. Jika sektor energi terus mendominasi, maka transisi menuju energi terbarukan harus dipercepat. Jika limbah menjadi penyumbang besar di perkotaan, maka pengelolaan sampah dan air limbah harus diprioritaskan. Dengan kata lain, inventarisasi memberi peta jalan yang berbasis data, bukan sekadar intuisi.
Ketiga, IGRK membuka pintu bagi peluang ekonomi baru. Dunia kini bergerak ke arah perdagangan karbon, di mana negara atau perusahaan yang mampu menekan emisi bisa mendapatkan insentif finansial. Dengan potensi pasar karbon global mencapai ratusan miliar dolar per tahun, laporan inventarisasi yang rapi dan transparan akan menjadi modal penting Indonesia untuk ikut serta dan memperoleh manfaat ekonomi.
Dan yang tak kalah penting, IGRK menyangkut kehidupan sehari-hari masyarakat. Ketika laporan menunjukkan emisi dari kebakaran hutan melonjak, itu berarti masyarakat di sekitar terancam kabut asap. Ketika serapan karbon dari hutan menurun, itu berarti ancaman banjir dan longsor semakin besar. Inventarisasi menjembatani data dengan kenyataan hidup rakyat, sehingga kebijakan yang lahir bukan hanya angka di atas kertas, tetapi solusi nyata di lapangan.
Bagaimana Mekanismenya?
Secara sederhana, Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) di Indonesia berjalan layaknya sebuah rantai informasi yang panjang. Di tingkat paling dasar, kabupaten dan kota mengumpulkan data dari berbagai sektor: berapa banyak bahan bakar yang digunakan untuk transportasi, berapa luas sawah yang ditanami padi, berapa jumlah ternak, hingga berapa ton sampah masuk ke tempat pembuangan akhir. Data inilah yang kemudian dihimpun oleh pemerintah provinsi.

Sistem Inventarisasi GRK Nasional

Setiap tahun, provinsi wajib menyampaikan laporan tersebut ke Kementerian terkait (saat ini Kementerian Lingkungan Hidup/ Badan Pengendalian Lingkungan Hidup) paling lambat bulan Juni. Laporan yang masuk tidak hanya berisi angka emisi, tetapi juga serapan karbon dari hutan dan lahan, tren perubahan dibanding tahun sebelumnya, serta identifikasi sektor-sektor kunci penyumbang emisi. Semua data itu diproses dalam sistem daring bernama SIGN-SMART (Sistem Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional – Sederhana, Mudah, Akurat, Ringkas, Transparan).
Dari sini, KLH menyusun laporan nasional yang menggambarkan kondisi emisi Indonesia secara keseluruhan. Laporan itu kemudian menjadi dasar bagi pemerintah pusat untuk menetapkan kebijakan, dan sekaligus dilaporkan ke dunia internasional melalui Sekretariat UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).
Mekanisme ini pada dasarnya dirancang sederhana. Namun, dalam praktiknya, rantai data tersebut sering kali tidak berjalan mulus. Tidak semua daerah memiliki kapasitas teknis yang sama. Di beberapa provinsi, operator SIGN-SMART harus belajar ulang setiap kali terjadi mutasi pegawai. Di daerah lain, data dari sektor energi atau limbah sulit diperoleh karena minim koordinasi lintas instansi. Semua itu membuat proses inventarisasi yang seharusnya rutin, berubah menjadi pekerjaan rumit dan memakan waktu.
Tantangan di Lapangan
Di atas kertas, sistem inventarisasi gas rumah kaca terlihat sederhana. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang jauh lebih kompleks. Banyak daerah masih menghadapi kesulitan dalam melengkapi data, keterbatasan sumber daya manusia, hingga lemahnya koordinasi lintas sektor. Kondisi ini membuat pekerjaan inventarisasi sering tertunda dan kualitas laporan tidak seragam antarprovinsi.
Pertama, soal data. Tidak semua kabupaten memiliki data aktivitas yang lengkap. Informasi dasar seperti konsumsi energi transportasi, volume sampah, atau penggunaan pupuk sering tidak tersedia, atau hanya tersimpan di instansi berbeda tanpa mekanisme berbagi. Akibatnya, laporan provinsi sering disusun dengan data yang tidak akurat atau hanya mengandalkan estimasi.
Kedua, keterbatasan kapasitas. Rotasi pegawai negeri di daerah menyebabkan operator sistem SIGN-SMART sering berganti, sementara pelatihan tidak dilakukan secara berkelanjutan. Situasi ini membuat proses inventarisasi sangat bergantung pada individu, bukan pada kelembagaan yang permanen.
Ketiga, pendanaan yang minim. Inventarisasi GRK belum menjadi prioritas dalam perencanaan dan penganggaran daerah. Kegiatan sering bergantung pada dukungan proyek donor atau bantuan sementara dari pusat. Begitu program berakhir, pelaporan pun kerap terhenti.
Keempat, insentif yang belum dirasakan. Pelaporan GRK di daerah belum terhubung langsung dengan manfaat ekonomi atau dukungan pembangunan. Tanpa adanya mekanisme insentif, motivasi untuk melaporkan data emisi dan serapan secara konsisten masih rendah.
Tantangan-tantangan ini menjadikan inventarisasi gas rumah kaca sebagai pekerjaan besar yang tidak hanya teknis, melainkan juga menyangkut aspek kelembagaan, politik kebijakan, serta keadilan bagi para pemangku kepentingan.
Ada Peluang di Setiap Tantangan
Meski penuh kendala, inventarisasi gas rumah kaca bukan pekerjaan sia-sia. Di balik tumpukan data yang sulit dikumpulkan dan laporan yang belum seragam, tersimpan peluang besar bagi Indonesia. Dunia tengah bergerak menuju ekonomi rendah karbon, dan negara yang mampu menyajikan data emisi yang kredibel akan berada di garis depan untuk mendapatkan manfaat. Salah satunya adalah perdagangan karbon.
Pasar karbon global diperkirakan bernilai ratusan miliar dolar per tahun. Dengan potensi hutan tropis, lahan gambut, dan ekosistem mangrove yang luas, Indonesia memiliki modal besar untuk menawarkan jasa lingkungan berupa penurunan emisi dan serapan karbon. Inventarisasi yang rapi dan transparan menjadi syarat utama agar potensi itu bisa dikonversi menjadi manfaat nyata, baik dalam bentuk pendanaan iklim, investasi hijau, maupun insentif ekonomi bagi daerah dan masyarakat.
Lebih jauh, IGRK juga memberikan manfaat strategis bagi pembangunan nasional. Data yang terkumpul dapat digunakan untuk merancang kebijakan energi, tata kelola limbah, maupun program perlindungan hutan. Dengan kata lain, inventarisasi bukan sekadar alat diplomasi global, tetapi juga instrumen pembangunan domestik yang berorientasi pada keberlanjutan.
Apa Solusinya?
Menghadapi tantangan dan peluang tersebut, Indonesia perlu melangkah dengan strategi yang realistis dan berkelanjutan. Ada beberapa solusi yang dianggap paling masuk akal untuk memperkuat inventarisasi gas rumah kaca.
Pertama, memperkuat kelembagaan di daerah. Inventarisasi tidak boleh bergantung pada individu tertentu. Pemerintah perlu membentuk tim permanen di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, lengkap dengan standar operasional dan tanggung jawab yang jelas.
Kedua, meningkatkan kapasitas secara berkelanjutan. Pelatihan operator sistem SIGN-SMART harus dilakukan secara rutin, bukan hanya ketika ada proyek atau pergantian pegawai. Dengan demikian, rotasi personel tidak lagi mengganggu kesinambungan pelaporan.
Ketiga, memastikan pendanaan tetap. Inventarisasi GRK perlu masuk dalam perencanaan dan penganggaran daerah, meski di tengah efisiensi transfer ke daerah hal ini tidak mudah. Karena itu, perlu inovasi pembiayaan mulai dari integrasi dengan program pembangunan lain, pemanfaatan dana insentif daerah berbasis kinerja lingkungan, hingga akses ke pembiayaan iklim internasional. Dengan kombinasi ini, keberlanjutan inventarisasi tidak lagi bergantung semata pada proyek donor.
Keempat, membangun insentif nyata. Laporan inventarisasi sebaiknya terhubung langsung dengan akses ke pembiayaan iklim, perdagangan karbon, atau program pembangunan hijau. Jika daerah dan masyarakat merasakan manfaat ekonomi dari menjaga hutan atau mengurangi emisi, motivasi mereka untuk menyusun laporan akan semakin tinggi.
Kelima, memperkuat koordinasi nasional. Kementerian dan lembaga terkait seperti Lingkungan Hidup, Kehutanan, ESDM, Pertanian, hingga Bappenas perlu membangun sistem pertukaran data yang seragam. Dengan standar metodologi yang jelas (mengacu pada IPCC maupun ISO 14064:2019), laporan Indonesia akan lebih kredibel di mata dunia.
Pada akhirnya, inventarisasi gas rumah kaca bukan hanya kewajiban teknis. Ia adalah fondasi untuk membangun ekonomi hijau yang tangguh, menjaga kredibilitas Indonesia di panggung internasional, sekaligus memastikan bahwa pembangunan hari ini tidak menggadaikan masa depan generasi berikutnya.
Daftar Pustaka
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 12 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Inventarisasi Gas Rumah Kaca Nasional dan Subnasional. Jakarta: KLHK, 2024.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon. Jakarta: Sekretariat Negara RI, 2021.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, GIZ, Coaction Indonesia, dan LTKL. Pedoman Struktur dan Fungsi Kelembagaan Inventarisasi Gas Rumah Kaca (IGRK) Tingkat Kabupaten 2020. Jakarta: Direktorat Inventarisasi Gas Rumah Kaca dan MPV, 2020.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Buku I: Pedoman Struktur dan Fungsi Kelembagaan IGRK. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Panduan SIGN SMART. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2019.
- Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Pedoman Inventarisasi Gas Rumah Kaca: Buku II Volume 3 AFOLU 1 (Pertanian, Kehutanan, dan Lahan Lainnya). Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017.
- UNFCCC. Nationally Determined Contributions (NDCs) Registry: Indonesia. United Nations Framework Convention on Climate Change, 2023.
- Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC). 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. Geneva: IPCC, 2006.
- ISO. ISO 14064-1:2019 Greenhouse gases — Part 1: Specification with guidance at the organization level for quantification and reporting of greenhouse gas emissions and removals. Geneva: International Organization for Standardization, 2019.
- OECD. OECD Economic Outlook, Volume 2025 Issue 1: Indonesia. Paris: OECD Publishing, 2025.
- Reuters. “Indonesia’s Central Bank Surprises with Rate Cut, Raises GDP Outlook.” 20 Agustus 2025. https://www.reuters.com/world/asia-pacific/indonesias-central-bank-surprises-with-rate-cut-raises-gdp-outlook-2025-08-20.
- Financial Times. “Indonesia GDP Growth Outlook Dims amid Fiscal Strains.” 2025. https://www.ft.com/content/6ddb46cd-695b-4814-a05c-2db28fd690f8.
- Reuters. “Indonesia to Crack Down on Illegal Exploitation of Resources, President Says.” 15 Agustus 2025. https://www.reuters.com/business/environment/indonesia-crack-down-illegal-exploitation-resources-president-says-2025-08-15.
- Washington Post. “Illegal Tin Mining in Indonesia and Global Supply Chains.” 12 Agustus 2025. https://www.washingtonpost.com/world/2025/08/12/china-gold-illicit-mining-indonesia.
- AP News. “Indonesia Seizes Millions of Hectares from Illegal Mining and Plantation Operations.” 2025. https://apnews.com/article/5bc3e2163159d5cd52076cd13f6a0fdb.
- Lemhannas RI. Kajian Strategis Pasar Karbon dan Implikasi bagi Indonesia. Jakarta: Lembaga Ketahanan Nasional RI, 2024.








