Wacana hilirisasi bukan sekadar janji industrialisasi, tetapi langkah strategis untuk menata ulang fondasi ekonomi nasional. Pemerintah mendorong agar ekspor tak lagi didominasi bahan mentah, melainkan produk bernilai tambah tinggi. Hilirisasi bukan hanya terjadi di sektor tambang dan nikel, tetapi juga menyasar perkebunan, kehutanan, hingga pangan dan perikanan.
Namun, di tengah transformasi besar ini, muncul satu pertanyaan penting: apakah proses hilirisasi cukup jika hanya didorong dari sisi produksi dan infrastruktur? Bagaimana dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan yang turut menyertainya?
Jawaban atas pertanyaan itu ditemukan dalam kerangka double materiality, yakni keseimbangan antara CSR (Corporate Social Responsibility) dan ESG (Environmental, Social and Governance). Kerangka ini dijelaskan secara visual dan praktis dalam buku Visualizing CSR & ESG: A Practical Guide for Sustainability Practitioners (2024) oleh Maria Rosaline Nindita Radyati, PhD, dan relevan untuk memahami tantangan hilirisasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan.

Hilirisasi Tidak Cukup dengan Investasi Fisik
Hilirisasi memang menggerakkan investasi, membuka lapangan kerja, dan memperkuat industri nasional. Namun, proses ini juga menghadirkan risiko baru, mulai dari degradasi lingkungan, peminggiran komunitas lokal, hingga tekanan terhadap ekosistem sosial di sekitar lokasi industri.
Untuk menjawab risiko itu, ESG hadir bukan sebagai beban tambahan, melainkan sebagai instrumen tata kelola dan mitigasi. ESG memperkuat daya tahan usaha di tengah ketidakpastian sosial, geopolitik, dan iklim. Di sisi lain, CSR yang dilakukan secara holistik memungkinkan masyarakat sekitar turut menikmati hasil transformasi ekonomi, bukan hanya menjadi penonton.
Dr. Maria dalam bukunya menyampaikan bahwa CSR berorientasi pada impact materiality (dampak keluar), sementara ESG berfokus pada financial materiality (risiko masuk). Dalam konteks hilirisasi, keduanya tidak dapat dipisahkan. Investasi pabrik akan gagal jika terjadi konflik sosial. Rantai pasok bisa terputus jika isu lingkungan tidak dikelola. Di sinilah double materiality menjadi fondasi untuk pertumbuhan yang tidak hanya cepat, tetapi juga kokoh.
Mendesain Hilirisasi yang Inklusif dan Berkelanjutan
Pendekatan ESG dalam konteks hilirisasi harus diterjemahkan ke dalam enam pilar praktik yang dapat diterapkan lintas sektor:
- Ekonomi Lokal yang Menguat
Hilirisasi harus membuka akses UMKM lokal sebagai bagian dari rantai pasok baru, bukan hanya bergantung pada vendor besar. Pelatihan keterampilan, pembukaan akses pasar, dan penyediaan fasilitas produksi bersama menjadi jalan menuju ekonomi inklusif. - Pembangunan Sosial yang Merata
Investasi industri harus diiringi pembangunan kapasitas sosial, akses pendidikan vokasi, layanan kesehatan, dan pengakuan terhadap komunitas adat. ESG tidak hanya tentang lingkungan, tapi juga tentang keadilan sosial. - Pengelolaan Lingkungan yang Terstruktur
Limbah industri hilir, konversi lahan, dan penggunaan energi harus dirancang berbasis prinsip keberlanjutan. Solusi berbasis alam, seperti konservasi sempadan sungai dan reforestasi di sekitar kawasan industri, dapat menjadi bagian integral dari rencana tata ruang. - Tata Kelola yang Transparan
Hilirisasi membawa kompleksitas tata kelola yang lebih besar termasuk multi-aktor dan multi-level. Kerangka ESG mendorong perusahaan untuk memiliki sistem dokumentasi, audit, dan mekanisme pengaduan yang dapat diakses publik. - Mitigasi Iklim Terintegrasi
Proyek hilirisasi harus dilengkapi dengan peta risiko iklim dan strategi adaptasi. Pendekatan ini dapat diterapkan, misalnya, dalam pembangunan kawasan industri rendah karbon, pemanfaatan energi terbarukan, atau integrasi ekonomi sirkular. - Solusi Sosial dan Ekologis Berbasis Komunitas
Dengan menggunakan Clockwise Social Business Model yang dikembangkan Dr. Maria, perusahaan dapat membangun unit usaha sosial berbasis masyarakat di sekitar wilayah hilirisasin seperti usaha pangan lokal, pengolahan limbah organik, atau ekowisata industri.
Model ini memungkinkan komunitas lokal bertransformasi dari obyek CSR menjadi pelaku ekonomi mandiri dalam ekosistem industri baru.
Komunikasi ESG; Membangun Kepercayaan di Tengah Transformasi
Tak kalah penting dalam proses hilirisasi adalah komunikasi ESG yang transparan dan strategis. Dengan pendekatan MOMMY Framework: Mapping (memetakan pemangku kepentingan), Outcome (tujuan komunikasi), Media (saluran komunikasi yang tepat), Messages (pesan utama yang disampaikan), dan Why (alasan pemilihan strategi), setiap pelaku usaha dapat menyusun strategi komunikasi yang tepat sasaran: siapa audiensnya, apa pesan yang disampaikan, media apa yang digunakan, dan mengapa strategi itu dipilih.
Ini penting karena hilirisasi adalah transformasi yang membutuhkan legitimasi sosial dan politik. Komunikasi ESG yang baik bukan sekadar pelaporan, tetapi membangun kepercayaan lintas lapisan.
Hilirisasi Bukan Tujuan, tapi Perjalanan Bersama
Hilirisasi adalah alat, bukan akhir. Ia hanya akan berhasil bila membawa manfaat menyeluruh bagi negara, investor, lingkungan, dan masyarakat. Kerangka ESG dan CSR yang digabungkan melalui pendekatan double materiality memberikan arah yang jelas untuk memastikan bahwa hilirisasi tidak sekadar industrialisasi, tetapi transformasi berkeadilan.
Melalui panduan visual dan praktis dari Visualizing CSR & ESG, pelaku usaha di sektor sawit, tambang, kehutanan, dan pangan dapat merancang langkah-langkah konkret agar investasi mereka tidak hanya tumbuh, tapi juga berakar.
Dalam ekonomi yang makin kompleks dan terdigitalisasi, yang membedakan bukan hanya apa yang diproduksi, tetapi bagaimana ia diproduksi, dan siapa saja yang dilibatkan dalam prosesnya. (Adm)








