Pemberlakuan regulasi Uni Eropa tentang produk bebas deforestasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) terus menuai kontroversi. Regulasi yang diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019 ini merupakan komitmen untuk memastikan rantai pasokan bebas deforestasi, meningkatkan transparansi, dan meminimalkan risiko deforestasi serta degradasi hutan terkait impor komoditas ke Uni Eropa. EUDR, yang dikukuhkan dalam kebijakan European Green Deal, EU Biodiversity Strategy, dan Farm to Fork Strategy, resmi diberlakukan pada 29 Juni 2023.
Regulasi ini telah memicu kekhawatiran dan penolakan dari berbagai kalangan dan negara. Proses pembahasan yang tidak melibatkan negara-negara penghasil komoditas yang diatur dalam EUDR, seperti kayu, sawit, kopi, kakao, kedelai, karet, dan sapi, dianggap menjadi salah satu sumber ketidakpuasan. Selain itu, EUDR juga dinilai tidak mempertimbangkan kondisi dan kemampuan setempat, seperti petani kecil dan regulasi negara produsen yang berdaulat, termasuk ketentuan skema sertifikasi sawit yang berkelanjutan dan perlindungan data pribadi.
Pada 27 Juli 2022, 14 negara menandatangani surat keberatan terhadap EUDR. Keberatan ini kembali disuarakan oleh 17 negara dalam surat yang ditandatangani oleh Dubes atau Perwakilan pada 7 September 2023. Negara-negara tersebut berpendapat bahwa penanganan isu deforestasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim dalam kesepakatan multilateral, seperti principle of common but differentiated responsibilities. Mereka juga menilai EUDR bersifat diskriminatif terhadap 7 komoditas dan berpotensi bertentangan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO).
Indonesia dan Malaysia turut menyuarakan keberatan mereka. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Deputi PM Malaysia merangkap Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof memimpin misi bersama ke Brussels pada Mei 2023. Dalam kunjungan ini, mereka bertemu dengan tokoh penting di Komisi Eropa dan Anggota Parlemen Uni Eropa untuk menyampaikan kekhawatiran serta potensi implikasi dari ketentuan EUDR.
Sebagai tindak lanjut, Uni Eropa setuju membentuk mekanisme dialog yang diusulkan oleh Indonesia dan Malaysia dalam wadah Joint Task Force (JTF). Kick-off meeting JTF dilakukan pada 4 Agustus 2023 dan pertemuan kedua pada 2 Februari 2024. JTF membahas lima fokus utama: partisipasi petani kecil dalam rantai pasokan komoditas, analisis kesenjangan antara ketentuan EUDR dengan standar nasional (ISPO dan MSPO), alat ketertelusuran di negara produsen, benchmarking negara yang belum tersedia metodologinya, dan perlindungan data pribadi.
Pemerintah Indonesia juga sedang menyusun platform digital berupa National Dashboard untuk memperkuat rantai pasok pekebun rakyat dan industri komoditas yang terdampak oleh EUDR.
Di sisi lain, 27 Senator Amerika Serikat mengirim surat kepada Perwakilan Dagang AS Katherine Tai pada April 2024, menyuarakan kekhawatiran terhadap dampak negatif EUDR, terutama bagi produsen pulp and paper Amerika Serikat. Mereka menyoroti persyaratan ketat EUDR tentang traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi industri AS, dan meminta agar terus berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di UE untuk mengakui bahwa AS memiliki standar regulasi kuat dalam melindungi keberlanjutan hutan.
Keberatan juga datang dari Asosiasi Utama Petani di Uni Eropa, Copa Cogeca, yang menyatakan ketidakmungkinan melaksanakan ketentuan EUDR tepat waktu.
Kontroversi seputar EUDR mencerminkan kompleksitas dalam upaya global melindungi hutan, menyeimbangkan antara kebijakan lingkungan dan kepentingan ekonomi negara produsen serta konsumen. Dialog berkelanjutan dan pendekatan kolaboratif diharapkan dapat menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak.
Sumber: SIARAN PERS KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG PEREKONOMIAN REPUBLIK INDONESIA HM.4.6/277/SET.M.EKON.3/04/2024